Banjir Jadi Hadiah Akhir Tahun; Delapan Provinsi Terdampak, Tiga Parah, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Maulana Iqbal

Akhir tahun 2025 ditutup dengan ironi yang menyakitkan. Sedikitnya delapan provinsi di Indonesia terdampak banjir, dan tiga di antaranya mengalami dampak cukup parah berupa banjir bandang dan longsor. Delapan provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Bagi sebagian elite, ini mungkin hanya deretan data dalam laporan kebencanaan. Namun bagi warga di lapangan, banjir berarti kehilangan rumah, mata pencaharian, dan dalam banyak kasus, kehilangan nyawa.

Bacaan Lainnya

Tiga provinsi di Sumatra yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi contoh paling nyata bagaimana banjir bandang terus berulang dengan dampak yang kian parah. Rumah hanyut, akses jalan terputus, dan ribuan warga harus mengungsi. Pola ini bukan hal baru. Ia datang hampir setiap musim hujan, dengan wilayah yang relatif sama dan penyebab yang serupa.

Narasi yang kerap diulang setiap kali bencana terjadi adalah cuaca ekstrem dan hujan deras. Benar, perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan. Namun, hujan tidak otomatis menjadi bencana. Ia berubah menjadi petaka ketika bertemu hulu yang rusak, hutan yang gundul, sungai yang menyempit, dan tata ruang yang dikorbankan atas nama investasi. Ketika pola ini berulang di banyak wilayah, menyebutnya “takdir alam” justru menutupi sumber masalah yang sesungguhnya.

Delapan provinsi terdampak dalam satu tahun bahkan di penghujung tahun adalah alarm keras tentang kegagalan pencegahan. Terlebih, tiga wilayah dengan dampak parah menunjukkan gejala klasik: kerusakan kawasan penyangga, aktivitas berisiko di daerah rawan, serta pengawasan yang lemah. Ini bukan kebetulan. Ini akumulasi keputusan yang dibiarkan.

Negara memikul tanggung jawab utama. Bukan hanya hadir saat darurat dengan logistik dan konferensi pers, tetapi memastikan mitigasi berjalan sebelum hujan turun. Regulasi lingkungan harus ditegakkan, bukan dinegosiasikan. Evaluasi izin bermasalah mesti dilakukan terbuka dan konsisten. Tanpa itu, negara sedang menabung bencana berikutnya.

Pemerintah daerah juga tak bisa lepas tangan. Banyak izin lahir di meja mereka. Perubahan tata ruang demi proyek, pembiaran aktivitas di kawasan rawan, dan lemahnya pengawasan adalah bentuk kelalaian administratif yang berujung tragedi. Otonomi tidak boleh menjadi alasan untuk abai pada keselamatan warga.

Korporasi yang menikmati keuntungan dari eksploitasi ruang hidup wajib dimintai pertanggungjawaban. Alih fungsi lahan tanpa pemulihan, pembukaan hutan, pertambangan di area sensitif, dan proyek abai AMDAL memindahkan risiko dari perusahaan ke rakyat. Ketika banjir datang, warga yang menanggung; ketika laba dicatat, kerusakan ditinggalkan.

Sementara itu, politik bencana terus berulang. Kamera menyala, empati dituturkan, bantuan dibagikan. Setelah itu, akar masalah kembali dilupakan. Mitigasi kalah oleh seremoni. Rehabilitasi berjalan lambat. Penegakan hukum tumpul. Siklus ini membuat bencana terasa “normal”, seolah memang harus diterima.

Yang paling problematik, korban sering diminta ikhlas. Padahal, takdir tidak menandatangani izin, tidak mengubah tata ruang, dan tidak melemahkan pengawasan. Manusia yang melakukannya. Karena itu, jika delapan provinsi terdampak dan tiga di antaranya parah, akuntabilitas harus menjadi kata kunci bukan sekadar belasungkawa.

Indonesia perlu beralih dari respon reaktif ke pencegahan serius. Mitigasi harus menjadi prioritas anggaran. Penegakan hukum lingkungan harus tegas dan konsisten. Pemulihan ekosistem wajib, bukan opsional. Tanpa langkah itu, akhir tahun berikutnya hanya akan mengulang judul yang sama dengan korban baru.

Banjir tidak boleh lagi menjadi “hadiah akhir tahun”. Jika alam terus dijadikan alibi, maka kelalaian akan terus dirayakan. Sudah waktunya pertanyaan “tanggung jawab siapa?” dijawab dengan tindakan nyata sebelum hujan berikutnya datang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *