Koalisi Pemuda Aceh Dorong Hak Angket DPR soal Lambannya Penetapan Bencana Nasional, Kirim Surat ke Parlemen dengan “Stempel Darah”

Aceh Timur – Koalisi Pemuda Aceh secara resmi mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendesak penggunaan hak angket DPR terhadap kebijakan Presiden Republik Indonesia yang hingga kini belum menetapkan status bencana nasional atas bencana besar yang melanda Provinsi Aceh, Senin, (29/12/2025).

Bacaan Lainnya

Surat tersebut dikirim sebagai bentuk peringatan moral dan politik kepada negara, menyusul jatuhnya korban jiwa, meluasnya penderitaan pengungsi, serta dinilai lambannya respons negara dalam menangani krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Aceh. Koalisi Pemuda Aceh menilai sikap pasif negara tidak hanya memperpanjang penderitaan rakyat, tetapi juga mencerminkan kegagalan menjalankan tanggung jawab konstitusional.

Koalisi menegaskan bahwa skala bencana yang terjadi di Aceh telah memenuhi indikator substantif sebagai bencana nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Berdasarkan data Posko Tanggap Darurat Aceh per 23 Desember 2025, tercatat sebanyak 2.017.542 jiwa terdampak yang tersebar di 18 kabupaten/kota, 202 kecamatan, dan 3.543 desa. Jumlah korban meninggal dunia mencapai 502 orang, sementara 31 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Selain itu, lebih dari 374.000 jiwa hingga kini masih hidup sebagai pengungsi di 2.174 titik pengungsian dengan kondisi jauh dari standar hidup layak serta tanpa kepastian relokasi.

Dari sisi infrastruktur dan ekonomi, bencana tersebut telah menyebabkan kerusakan berskala masif dan sistemik. Sedikitnya 1.098 titik jalan, 492 jembatan, serta 124.545 unit rumah dilaporkan rusak. Puluhan ribu hektare lahan pertanian dan tambak yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakat Aceh juga turut terdampak, memperluas krisis dari sekadar kemanusiaan menjadi krisis ekonomi dan sosial struktural. Hingga kini, Koalisi Pemuda Aceh menilai belum terdapat peta pemulihan dan rekonstruksi yang transparan, terukur, dan terintegrasi dari pemerintah pusat maupun daerah.

Perwakilan Koalisi Pemuda Aceh, Nanda Rizki, menegaskan bahwa DPR RI tidak boleh bersikap pasif dalam situasi tersebut.

“Jika DPR tidak menggunakan hak angket dalam kondisi ini, maka parlemen secara sadar membiarkan krisis kemanusiaan berlangsung. Hak angket bukan pilihan politik, melainkan kewajiban konstitusional,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa ketiadaan penetapan status bencana nasional bukan lagi persoalan administratif.

“Ketika lebih dari dua juta rakyat Aceh terdampak, ratusan nyawa melayang, dan ratusan ribu orang hidup dalam pengungsian tanpa kepastian, maka tidak adanya penetapan bencana nasional adalah bentuk kelalaian politik dan pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional negara,” ujarnya.

Menurut Nanda, hak angket DPR merupakan instrumen konstitusional yang sah untuk membuka ruang pertanggungjawaban negara dalam sistem demokrasi. Ia menegaskan bahwa surat yang dikirimkan dengan “stempel darah” merupakan simbol peringatan keras kepada parlemen.

“Jika DPR memilih diam, maka DPR ikut menanggung beban moral atas krisis kemanusiaan ini. Hak angket harus digunakan untuk memastikan negara benar-benar hadir bagi rakyat Aceh,” katanya.

Koalisi Pemuda Aceh juga menilai bahwa penetapan status bencana nasional merupakan prasyarat fundamental untuk memastikan kehadiran negara secara penuh dalam krisis kemanusiaan berskala luas. Status tersebut dinilai penting untuk mempercepat mobilisasi sumber daya nasional, memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta menjamin pemenuhan hak-hak dasar korban bencana secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Selain itu, Koalisi menekankan bahwa penetapan bencana nasional membuka ruang kerja sama dan bantuan kemanusiaan internasional secara sah, terkoordinasi, dan akuntabel. Mengingat luas wilayah terdampak dan besarnya kerusakan sosial-ekonomi, keterlibatan komunitas internasional dinilai sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.

“Bantuan luar negeri harus dipahami sebagai solidaritas kemanusiaan universal, bukan ancaman terhadap kedaulatan. Ketika kapasitas nasional terbukti tidak memadai dalam krisis besar, membuka ruang bantuan internasional justru merupakan wujud tanggung jawab negara,” ujar Nanda.

Dalam surat yang dikirimkan kepada DPR RI, Koalisi Pemuda Aceh secara eksplisit mendesak parlemen untuk menggunakan hak angket sebagai alat tekanan politik konstitusional. DPR diminta memanggil Presiden Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta kementerian dan lembaga terkait guna memberikan keterangan terbuka mengenai dasar kebijakan, pola koordinasi penanganan bencana, serta alasan belum ditetapkannya status bencana nasional.

Koalisi Pemuda Aceh menegaskan bahwa penggunaan hak angket bukan bentuk konfrontasi kekuasaan, melainkan mekanisme koreksi dalam negara demokratis ketika kebijakan pemerintah dinilai menjauh dari prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab konstitusional. Mereka menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa surat dengan “stempel darah” merupakan batas terakhir peringatan moral kepada negara atas penderitaan rakyat Aceh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *