Aceh; Menggugat Nurani di Tengah Kepungan Bencana dan Represi

Oleh : Muhammad Askar Rezeki kader HMI Banda Aceh

Pemandangan kekerasan aparat yang belakangan viral di Aceh menghadirkan sebuah paradoks kemanusiaan yang menyakitkan. Di saat warga berjibaku melawan bencana alam banjir yang merendam rumah, sawah, dan fasilitas publik yang justru tampil ke permukaan adalah wajah keras kekuasaan. Negara seolah hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pengendali yang mencurigai warganya sendiri.

Bacaan Lainnya

Sangat ironis ketika energi negara yang seharusnya difokuskan pada evakuasi, pemulihan, dan perlindungan korban bencana justru terkuras untuk tindakan represif. Padahal, dalam situasi darurat, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah kehadiran negara yang sigap, empatik, dan manusiawi. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa saat rakyat sedang basah kuyup oleh banjir dan kehilangan mata pencaharian, yang datang justru pendekatan keamanan?

Situasi ini menunjukkan adanya krisis empati yang serius. Pendekatan keamanan seolah-olah dianggap lebih mendesak daripada keselamatan nyawa warga. Dalam logika semacam ini, stabilitas simbolik dan kecurigaan politik ditempatkan lebih tinggi daripada rasa kemanusiaan. Negara tampak lebih waspada terhadap potensi ancaman, ketimbang penderitaan nyata yang ada di depan mata.

Secara faktual, insiden di Krueng Mane, Aceh Utara, pada malam Jumat (25/12/2025), menjadi titik nadir kemanusiaan. Konvoi warga yang hendak mengantarkan bantuan logistik ke Aceh Tamiang dilaporkan dihentikan oleh aparat gabungan TNI dan Polri. Alih-alih dikawal agar bantuan cepat sampai ke lokasi terdampak, para relawan justru diinterogasi. Berdasarkan sejumlah kesaksian, mereka diduga mengalami tindakan kekerasan fisik, mulai dari tendangan hingga pemukulan dengan laras senjata, hanya karena membawa atribut yang dianggap sensitif, yakni Bendera Bulan Bintang.

Razia dan penyisiran terhadap bantuan kemanusiaan ini bukan sekadar persoalan prosedural, melainkan masalah serius dalam perspektif hak asasi manusia. Ketika simbol lebih ditakuti daripada ancaman kelaparan di pengungsian, maka orientasi negara patut dipertanyakan. Bantuan kemanusiaan seharusnya dilihat sebagai upaya menyelamatkan nyawa, bukan dicurigai sebagai agenda politik.

Lebih jauh, peristiwa ini mencerminkan warisan pendekatan keamanan yang belum sepenuhnya ditinggalkan. Aceh, dengan sejarah konflik dan trauma panjang, semestinya diperlakukan dengan sensitivitas yang lebih tinggi. Sayangnya, yang muncul justru pengulangan pola lama: kecurigaan berlebihan terhadap warga sipil, bahkan ketika mereka bergerak atas dasar solidaritas kemanusiaan.

Di sisi lain, keengganan pemerintah pusat untuk menetapkan status Darurat Bencana Nasional turut membangun tembok birokrasi yang mematikan. Wilayah seperti Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie Jaya dilaporkan lumpuh dengan puluhan ribu pengungsi. Tanpa status darurat nasional, ruang gerak pemerintah daerah dan relawan menjadi terbatas, sementara kebutuhan di lapangan terus membesar dari hari ke hari.

Dampak paling nyata dari absennya status darurat ini adalah tertahannya bantuan internasional. Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh telah menyuarakan kekecewaan karena bantuan dari negara sahabat mulai dari obat-obatan hingga tenaga medis terhambat oleh prosedur administratif di tingkat pusat. Sejarah mencatat, saat tsunami 2004, dunia hadir tanpa sekat dan birokrasi yang berbelit. Lantas, mengapa kini, ketika rakyat kembali menderita, pintu solidaritas itu justru dipersempit?

Sebagai penutup, Aceh hari ini tidak membutuhkan tambahan trauma, luka memar, atau ketakutan baru. Aceh membutuhkan tangan-tangan yang merangkul dan telinga yang mau mendengar jeritan warganya. Pemulihan Aceh tidak dapat dilakukan dengan membungkam suara atau merazia relawan kemanusiaan, melainkan dengan menjamin hak setiap warga untuk hidup aman, bermartabat, dan terlindungi.

Sudah saatnya kemanusiaan diletakkan di atas kepentingan birokrasi maupun ambisi kekuasaan. Negara harus hadir sebagai pelindung sejati, memastikan bantuan mengalir hingga ke pelosok, bukan justru menjadi penghalang bagi mereka yang ingin berbuat baik.

Pos terkait