Oleh: Arifal Akbar
Akhir tahun 2025 menjadi catatan kelam bagi masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Banjir bandang dan tanah longsor datang silih berganti, melumpuhkan infrastruktur, memutus akses transportasi, serta memaksa ribuan warga mengungsi dalam kondisi darurat. Sawah terendam, kebun rusak, rumah hanyut, dan aktivitas ekonomi lumpuh hampir total. Dalam narasi resmi, bencana ini kerap dijelaskan sebagai akibat curah hujan ekstrem dan anomali iklim. Penjelasan tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi sangat tidak cukup. Dengan menempatkan alam sebagai satu-satunya tersangka, negara dan para pengambil kebijakan secara tidak langsung sedang mencuci tangan dari tanggung jawab politik yang sesungguhnya.
Kerentanan wilayah Sumatra terhadap banjir dan longsor bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil dari proses panjang perusakan lingkungan yang berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Hutan-hutan yang dahulu berfungsi sebagai penyangga ekologis kini semakin menyempit. Pembalakan liar yang dibiarkan, baik karena lemahnya pengawasan maupun karena praktik pembiaran yang sistematis, telah menghilangkan kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan lebat datang, air tidak lagi tertahan, melainkan mengalir deras membawa lumpur, batu, dan potongan kayu yang justru memperparah daya rusak banjir.
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara masif juga memperdalam krisis ekologis di Sumatra. Dalam banyak kasus, ekspansi sawit tidak hanya mengorbankan hutan primer, tetapi juga kawasan resapan air dan daerah aliran sungai. Tanaman monokultur seperti sawit tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan alam yang kompleks. Akibatnya, keseimbangan lingkungan terganggu, dan masyarakat di wilayah hilir menjadi pihak yang paling rentan ketika bencana datang. Ironisnya, semua ini kerap dibungkus dalam narasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, sementara risiko ekologisnya diabaikan.
Masalah menjadi semakin serius ketika kerusakan lingkungan ini ditempatkan dalam konteks politik elektoral. Menjelang pemilihan umum, kebutuhan akan dana kampanye sering kali mendorong pejabat publik untuk mengambil jalan pintas. Sektor-sektor ekstraktif seperti perkebunan dan kehutanan menjadi ladang subur bagi transaksi politik. Izin lahan, pelonggaran regulasi, dan kompromi terhadap aturan lingkungan bukan lagi rahasia umum. Dalam situasi seperti ini, kebijakan negara tidak sepenuhnya ditujukan untuk melindungi kepentingan publik, melainkan tersandera oleh kepentingan segelintir elit ekonomi-politik.
Fenomena ini menjelaskan mengapa relaksasi izin dan lemahnya penegakan hukum lingkungan kerap meningkat menjelang atau setelah pemilu. Keputusan-keputusan yang diambil bukan berdasarkan perhitungan ekologis jangka panjang, melainkan keuntungan politik sesaat. Banjir besar yang terjadi hari ini sejatinya adalah akumulasi dari pilihan-pilihan kebijakan tersebut. Ia adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh masyarakat atas praktik politik yang mengorbankan keberlanjutan lingkungan demi stabilitas kekuasaan.
Dampak bencana ini tidak hanya berhenti pada kerusakan fisik. Bagi masyarakat Sumatra yang sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perkebunan kecil, dan perdagangan rakyat, banjir menciptakan krisis sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Kehilangan lahan, ternak, dan peralatan kerja berarti hilangnya sumber penghidupan. Dalam kondisi minim perlindungan sosial, banyak keluarga terdorong masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Anak-anak terancam putus sekolah, kualitas kesehatan menurun, dan ketimpangan sosial semakin menganga.
Sayangnya, respons negara masih sering berfokus pada penanganan darurat dan pembangunan infrastruktur pascabencana. Bantuan logistik, hunian sementara, dan perbaikan jalan memang penting, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Tanpa perubahan kebijakan yang mendasar, pembangunan kembali hanya akan menjadi siklus rutin yang mengulang tragedi yang sama di masa depan.
Karena itu, diperlukan keberanian politik untuk mengubah arah pembangunan menuju keberlanjutan ekologis. Penguatan tata kelola lingkungan harus menjadi prioritas, dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama penjaga hutan dan daerah aliran sungai. Transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik juga mutlak dibutuhkan agar kebijakan publik tidak terus-menerus dikendalikan oleh kepentingan industri ekstraktif. Selain itu, restorasi ekosistem harus dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi keselamatan rakyat, bukan sebagai beban anggaran.
Tragedi banjir Sumatra 2025 seharusnya menjadi peringatan keras bahwa bencana alam tidak pernah benar-benar netral. Ia selalu memiliki dimensi politik. Selama keputusan politik masih mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga, maka banjir, longsor, dan krisis ekologis lainnya akan terus berulang. Dalam situasi ini, pertanyaan yang paling penting bukan lagi mengapa hujan turun begitu deras, melainkan mengapa negara terus membiarkan rakyatnya hidup di atas risiko yang diciptakan oleh kebijakan itu sendiri.

