Eksesivitas Koersif dan Luka Kepercayaan Publik di Aceh

Oleh : Agus Safrizal

Peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat sipil di Aceh kembali memunculkan pertanyaan lama: apakah ketertiban harus selalu dibangun melalui kekerasan? Ataukah negara sebenarnya sedang kehabisan cara untuk hadir secara lebih manusiawi? Ketika pemukulan dan tindakan kasar dipertontonkan di ruang publik, yang lahir bukan rasa aman, melainkan ketakutan serta jarak yang kian lebar antara negara dan warganya.

Bacaan Lainnya

Aceh bukanlah daerah biasa. Wilayah ini memiliki sejarah panjang konflik dan pengalaman pahit dalam berhadapan dengan kekerasan negara. Karena itu, setiap tindakan represif tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berkelindan dengan ingatan kolektif masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Tindakan aparat yang berlebihan, meski dibungkus dalih pengamanan, justru membuka kembali luka lama dan memperkuat kesan bahwa suara masyarakat belum sungguh-sungguh didengar.

Dalam perspektif teori negara modern, legitimasi kekuasaan tidak semata bertumpu pada monopoli penggunaan kekerasan, melainkan pada kemampuan negara mengelola konflik secara proporsional, akuntabel, dan berbasis kepercayaan. Ketika kekuatan fisik dipilih sebagai bahasa utama dalam berinteraksi dengan warga sipil, pesan yang tersampaikan bukan ketegasan hukum, melainkan kegagalan komunikasi politik. Negara tampak hadir, tetapi absen dalam empati; berkuasa, namun kehilangan kewibawaan moral.

Sebagai putra daerah Aceh, peristiwa semacam ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai insiden kekerasan biasa. Agus Safrizal, S.Sos., mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menilai bahwa tindakan tersebut mencerminkan masih kuatnya cara pandang lama dalam menangani masyarakat Aceh. Kekerasan tidak hanya melukai korban secara langsung, tetapi juga mengusik ingatan kolektif tentang relasi kuasa yang timpang di masa lalu. Alih-alih menenangkan keadaan, pendekatan seperti ini justru berpotensi memperkeruh situasi sosial.

Eksesivitas koersif pada dasarnya mencerminkan problem struktural dalam tata kelola keamanan sipil. Pendekatan yang mengedepankan logika militeristik di ruang publik yang seharusnya bersifat sipil menunjukkan kaburnya batas antara pengamanan dan penindasan. Dari sudut pandang akademik, kondisi ini berisiko melemahkan prinsip supremasi sipil serta mencederai fondasi negara hukum yang seharusnya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip proporsionalitas.

Dampak praktik semacam ini tidak berhenti pada korban langsung. Luka yang paling serius justru terletak pada runtuhnya kepercayaan publik. Ketika masyarakat mulai memandang aparat bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai sumber ancaman, yang tergerus bukan hanya relasi sosial, tetapi juga legitimasi institusional. Kepercayaan yang hilang tidak dapat dipulihkan melalui retorika stabilitas atau narasi keamanan semata, melainkan melalui refleksi kritis, pertanggungjawaban terbuka, dan reformasi pendekatan yang nyata.

Aceh, dengan segala kerentanan sosial dan historisnya, membutuhkan kehadiran negara yang beradab negara yang mampu mendengar sebelum bertindak dan melindungi tanpa melukai. Ketertiban yang dibangun di atas rasa takut hanya akan melahirkan kepatuhan semu. Sebaliknya, demokrasi menuntut kepercayaan yang tumbuh dari penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam kerangka ini, eksesivitas koersif harus dipahami bukan sebagai solusi, melainkan sebagai alarm serius bagi kualitas relasi negara dan warga di Aceh.

Pos terkait